Harumnya
kopi yang baru diseduh menyeruak masuk ke dalam hidungku. Ini sudah lebih dari dua puluh menit aku
duduk di café ini, dan… bangku yang
tadinya aku perkirakan akan berpenghuni, ternyata masih saja kosong. Aku kembali menikmati pemandangan di luar
jendela, ditambah iringan lagu jazz yang mengalun merdu ditelinga dan secangkir
vanilla latte tentu saja. Ya… ini minuman kesukaannya, dan aku jadi
suka juga karenanya.
****
Aku duduk di kursi tepat disebelahnya,
memainkan bola dengan kedua tanganku, ini hal yang paling aku suka. Namun itu jadi sangat membosankan, karena sekarang
sudah menit kedua puluh kita duduk disini.
Pandangannya kosong menatap ke luar jendela, banyak orang berlalu
lalang, namun tidak ada satupun yang dia kenal.
Wajahnya tampak sangat tenang, namun terlihat seperti sedang menunggu
sesuatu. Apa yang sebenarnya dia tunggu?
****
Café coffee
ini sudah hampir dipadati oleh beberapa pengunjung setianya. Aku tetap sabar menunggu kedatanganmu,
walaupun sebenarnya aku tidak suka tempat yang sangat ramai. Aku lebih suka tempat dimana saat kita
pertama kali bertemu. Di Book Café, saat mentari senja menyinari tempat
duduk yang biasa aku tempati, dengan lantunan lagu jazz, dan ada kamu di sudut
kiri sana. Kamu yang selalu asik dengan
buku-buku, laptop, dan secangkir vanilla
latte yang selalu kamu pesan.
Kamu
menjadi salah satu alasan tetapku untuk selalu pergi ke tempat itu, selalu
duduk dikursi yang sama, selalu membaca, dan tentu saja selalu menatapmu. Pernah suatu hari kita berdiri bersebelahan
di Book Café, dan tanpa sengaja kita
sama-sama beranjak dari arah yang berlawanan.
Tentu saja kita bertabrakan.
Semua buku yang kupegang jatuh, dan secangkir vanilla latte yang sedang kamu bawa tumpah dilenganku. Wajahmu yang biasanya tenang seketika
terlihat sedikit panik, kamu membantu membereskan buku-bukuku yang terjatuh,
diradius sedekat itu aku bisa dengan mudah mencium aroma tubuhnya, dia sangat
wangi. Aku sibuk membersihkan tumpahan vanilla latte dengan tissue.
Dia
lalu memegang telapak tanganku dan membersihkannya. Sebenarnya aku bisa melakukan ini sendiri,
tapi ternyata ia lebih gesit dari perkiraanku.
Ini kali pertama aku melihatnya sedekat ini, memandang matanya yang
berwarna coklat, dan mencium aroma tubuhnya.
Entah apa yang aku mimpikan semalam tadi, tapi aku sangat bahagia saat
ini, atmosfir hatiku seketika berubah menjadi sangat indah, indah sekali. Jika dianalogikan dengan keadaan langit, akan
ada banyak sekali bintang yang muncul di malam hari, dan jika pagi, matahari
yang menyinari akan sangat lembut dan hangat menyinari bumi.
“Hey,
apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya, wajahnya tampak sedikit cemas.
“Hah?
Oh aku tidak apa-apa kok.” Jawabku sambil tersenyum.
“Tapi
lihat, telapak tanganmu sangat merah.
Apa kamu tidak merasakannya?”
****
Masih di tempat yang sama. Ini sangat membosankan! Aku memutuskan untuk
jalan-jalan sebentar, sebelumnya aku melirik seseorang yang duduk disebelahku
itu. Dia masih ada diposisi yang
sama. Kali ini wajahnya menyunggingkan
senyum manis, entah apa yang sedang ia pikirkan didalam kepalanya, sepertinya ia
teringat sesuatu yang sangat menyenangkan.
Aku berlalu meninggalkan café itu untuk sejenak menghilangkan rasa bosan. Di luar banyak orang yang hilir mudik, sangat
ramai, apa ini sudah waktunya orang-orang pulang kerja? Aku berjalan bersama kaki-kaki yang melangkah
dengan cepat itu, dan entah kenapa aku berjalan menuju toko bunga yang ada
disudut jalan itu. Seseorang tengah
membeli seikat bunga anyelir dengan pita hijau tosca dibagian pembungkusnya.
Aku merasakan ada yang aneh, apa aku pernah melihat orang ini
sebelumnya…?
****
Kalimatnya
seakan membangunkanku dari atmosfir bahagia yang tadi aku rasakan. Lalu seketika aku merasakan tanganku seperti
terbakar, panas, sangat panas. Bukan
karena suhu udara disini, tapi karena tumpahan vanilla latte yang baru dibuat tadi. Aku menyentuh telapak tangan, yang masih
sedikit lengket. Ya… memang benar panas,
tapi panasnya lebih terasa dibawah kulit.
“Sepertinya
aku harus membersihkannya.” aku tersenyum
lalu menarik tanganku dari genggamannya. Berlari ke meja tempatku biasa duduk dan
menyimpan buku, lalu pergi ke toilet. Aku
mencium aroma vanilla latte
ditanganku, hm… wanginya memang sangat enak, pantas saja dia menyukainya. Aku membuka kran air di westafel dan
membiarkan air deras mengalir ke tangan kiriku.
Ah… melegakan sekali, rasanya seperti berdiri di oasis di padang pasir,
sejuk.
Rasa panasnya sedikit berkurang, dan sesudah
ini pasti akan kembali normal. Aku
menutup kran lalu berniat kembali keluar dan membaca bukuku, tapi ternyata
panas di tangan semakin menjadi. Aku
kembali membuka air kran, lalu kembali menutupnya, dan panasnya masih belum hilang saja. Karena kesal aku membiarkan tangannku dengan
rasa panasnya dan kembali ke luar.
Dari
jarak yang cukup dekat dari tempatku, terlihat sesosok laki-laki melipat
tangannya di meja. Oh itu dia… tapi
kenapa ia ada ditempat dudukku? Apa aku salah menyimpan buku tadi? Aku berjalan menghampirinya lalu duduk tepat
dihadapannya. Ada secangkir vanilla latte di sisi kirinya, dan
didepanku ada sebuah gelas tinggi yang mengeluarkan banyak titik air dibagian
depan gelasnya, sepertinya berisikan vanilla
latte juga.
“Aku
baru saja membeli krim ini, mungkin saja rasa panas dan perihnya bisa hilang.” Ia mengoleskan krim itu ditelapak tanganku,
rasa dingin menjalar ditubuhku tiba-tiba.
Bukan hanya karena krim yang dioleskannya, tapi karena dia juga. Jantungku mendadak memompa darah dengan
sangat cepatnya, tentu saja darahku berdesir dengan kecepatan yang cepat pula,
dan jangan ditanya, bagaimana warna wajahku saat itu.
Setelah
itu terjadilah obrolan yang menarik antara kami. Ternyata dia menyenangkan, dibalik wajahnya yang selalu tenang, ada
gurauan yang sangat menggelitik keluar dari mulutnya. Ia sangat ramah, banyak sekali hal yang ia
ceritakan, dan karenanya senyum dan tawaku makin saja berkembang. Aku menyeruput vanilla latte dingin itu perlahan, dan ternyata rasanya memang
enak. Aku sangat menikmati suasana senja
hari ini, sinar mentari sore yang menembus masuk kedalam jendela, orang-orang
yang hilir mudik diluar sana, dan ada kamu, ini sangat menyenangkan!
****
Orang itu kenapa sangat tampak aneh? Aku memutuskan untuk mengikutinya, entah
kenapa. Laki-laki yang memakai kaos
berkerah dan berambut rapi ini, berjalan dengan santai. Ditangannya ada seikat bunga anyelir yang ia
bawa dari toko bunga tadi dan sebuah buku.
Aku sedikit berlari untuk bisa berada sejajar dibelakangnya, langkahnya
tidak bisa aku kejar dengan kakiku yang kecil ini.
****
“Aku
suka meminjam buku yang sudah kamu pinjam loh.” Katanya sambil tersenyum.
Aku
menghentikan prosesi menikmati vanilla
latte dinginku. Sedikit tercengang,
bukankah aku sangat aneh, diujung umur kepala satu ini aku masih suka membaca
buku dongeng. Dan dia membaca buku yang
aku baca juga.
“Hah? Kenapa aku juga membaca buku yang aku
baca? Bukan kah aneh, membaca buku
semacam itu di usia kita?” tanyaku penasaran.
“Dongeng
itu menyenangkan, dan aku suka. Itu juga
karena kamu.” Lagi-lagi ia berbicara
dengan senyum yang tak habis-habisnya.
Dan setelah itu kami resmi berteman, kami selalu duduk dibangku yang
sama, bercerita tentang segala hal, dan tentunya ada buku, music jazz, dan
secangkir vanilla latte hangat dan
segelas vanilla latte dingin di
meja. Aku bisa menatap matamu yang
berwarna coklat itu dari dekat. Terima
kasih untuk kamis sore yang selalu kamu
hiasi dengan canda tawamu, aku suka, ya suka sekali…
****
Aku
menghentikan langkahku, ia sudah berdiri disebuah café. Didepannya ada sebuah
kaca besar, ia menatap seseorang yang sedang duduk didalam sana dengan senyum. Ini aneh, kenapa ia senyum-senyum
sendiri? Aku mulai meneriakinya,
mengelilinginya, dan menepuk-nepuk sepatu sneakersnya. Ia lalu menoleh kebawah dengan tatapan penasaran,
apa yang sejak tadi mengganggunya.
“Hey,
apa yang kamu lakukan?” katanya sambil menggelitik leherku, ya… ia selalu
melakukan hal ini setiap berkunjung kerumah, dan aku sangat menyukainya. “Aku sangat merindukannya, tolong sampaikan
ya.” Katanya lembut dengan senyum yang tulus.
Ah… beruntung sekali Laras
memiliki seseorang yang baik seperti dia.
Aku merasakan seseorang dating dari belakangku dan menggendongku dengan
lembutnya.
****
Aku
tetap menatap keluar jendela, aku sangat merindukan sesuatu sekarang ini,
rasanya membuat dada sangat sesak. Aku
menarik nafas dengan berat, mataku mulai sedikit berair, aku tengok bangku
sebelahku, kosong.
“Kemana
Fity? Rasanya tadi dia masih ada disini?”
Aku menengok ke kanan, kiri, dan ke bawah meja, berusaha menemukan
kucing kesayanganku. Aku mendengar suara
meongnya, refleks aku melihat keluar jendela.
Fity sedang mengeong-ngeong sendirian di luar sana. Apa yang sedang dia lakukan?
Aku
berjalan keluar, dan mendapati Fity masih mengengong-ngeong. Di depannya terdapat sebuah buku dan seikat
bunga anyelir dengan pita berwarna tosca.
Aku menggendong Fity yang masih
mengeong, dan mengambil bunga dan buku itu.
Di buku itu tertulis namaku dan… ***