Kamis, 28 Januari 2016

Vanilla Latte


Harumnya kopi yang baru diseduh menyeruak masuk ke dalam hidungku.  Ini sudah lebih dari dua puluh menit aku duduk di café ini, dan… bangku yang tadinya aku perkirakan akan berpenghuni, ternyata masih saja kosong.  Aku kembali menikmati pemandangan di luar jendela, ditambah iringan lagu jazz yang mengalun merdu ditelinga dan secangkir vanilla latte tentu saja.  Ya… ini minuman kesukaannya, dan aku jadi suka juga karenanya. 
****
Aku duduk di kursi tepat disebelahnya, memainkan bola dengan kedua tanganku, ini hal yang paling aku suka.  Namun itu jadi sangat membosankan, karena sekarang sudah menit kedua puluh kita duduk disini.  Pandangannya kosong menatap ke luar jendela, banyak orang berlalu lalang, namun tidak ada satupun yang dia kenal.  Wajahnya tampak sangat tenang, namun terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.  Apa yang sebenarnya dia tunggu?
****
Café coffee ini sudah hampir dipadati oleh beberapa pengunjung setianya.  Aku tetap sabar menunggu kedatanganmu, walaupun sebenarnya aku tidak suka tempat yang sangat ramai.  Aku lebih suka tempat dimana saat kita pertama kali bertemu.  Di Book Café, saat mentari senja menyinari tempat duduk yang biasa aku tempati, dengan lantunan lagu jazz, dan ada kamu di sudut kiri sana.  Kamu yang selalu asik dengan buku-buku, laptop, dan secangkir vanilla latte yang selalu kamu pesan.
Kamu menjadi salah satu alasan tetapku untuk selalu pergi ke tempat itu, selalu duduk dikursi yang sama, selalu membaca, dan tentu saja selalu menatapmu.  Pernah suatu hari kita berdiri bersebelahan di Book Café, dan tanpa sengaja kita sama-sama beranjak dari arah yang berlawanan.  Tentu saja kita bertabrakan.  Semua buku yang kupegang jatuh, dan secangkir vanilla latte yang sedang kamu bawa tumpah dilenganku.  Wajahmu yang biasanya tenang seketika terlihat sedikit panik, kamu membantu membereskan buku-bukuku yang terjatuh, diradius sedekat itu aku bisa dengan mudah mencium aroma tubuhnya, dia sangat wangi.  Aku sibuk membersihkan tumpahan vanilla latte dengan tissue
Dia lalu memegang telapak tanganku dan  membersihkannya.  Sebenarnya aku bisa melakukan ini sendiri, tapi ternyata ia lebih gesit dari perkiraanku.  Ini kali pertama aku melihatnya sedekat ini, memandang matanya yang berwarna coklat, dan mencium aroma tubuhnya.  Entah apa yang aku mimpikan semalam tadi, tapi aku sangat bahagia saat ini, atmosfir hatiku seketika berubah menjadi sangat indah, indah sekali.  Jika dianalogikan dengan keadaan langit, akan ada banyak sekali bintang yang muncul di malam hari, dan jika pagi, matahari yang menyinari akan sangat lembut dan hangat menyinari bumi.
“Hey, apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya, wajahnya tampak sedikit cemas.
“Hah? Oh aku tidak apa-apa kok.” Jawabku sambil tersenyum.
“Tapi lihat, telapak tanganmu sangat merah.  Apa kamu tidak merasakannya?”
****
Masih di tempat yang sama.  Ini sangat membosankan! Aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, sebelumnya aku melirik seseorang yang duduk disebelahku itu.  Dia masih ada diposisi yang sama.  Kali ini wajahnya menyunggingkan senyum manis, entah apa yang sedang ia pikirkan didalam kepalanya, sepertinya ia teringat sesuatu yang sangat menyenangkan.
Aku berlalu meninggalkan café itu untuk sejenak menghilangkan rasa bosan.  Di luar banyak orang yang hilir mudik, sangat ramai, apa ini sudah waktunya orang-orang pulang kerja?  Aku berjalan bersama kaki-kaki yang melangkah dengan cepat itu, dan entah kenapa aku berjalan menuju toko bunga yang ada disudut jalan itu.   Seseorang tengah membeli seikat bunga anyelir dengan pita hijau tosca dibagian pembungkusnya.  Aku merasakan ada yang aneh, apa aku pernah melihat orang ini sebelumnya…?
****
Kalimatnya seakan membangunkanku dari atmosfir bahagia yang tadi aku rasakan.  Lalu seketika aku merasakan tanganku seperti terbakar, panas, sangat panas.  Bukan karena suhu udara disini, tapi karena tumpahan vanilla latte yang baru dibuat tadi.  Aku menyentuh telapak tangan, yang masih sedikit lengket.  Ya… memang benar panas, tapi panasnya lebih terasa dibawah kulit.
“Sepertinya aku harus membersihkannya.”  aku tersenyum lalu menarik tanganku dari genggamannya.  Berlari ke meja tempatku biasa duduk dan menyimpan buku, lalu pergi ke toilet.  Aku mencium aroma vanilla latte ditanganku, hm… wanginya memang sangat enak, pantas saja dia menyukainya.  Aku membuka kran air di westafel dan membiarkan air deras mengalir ke tangan kiriku.  Ah… melegakan sekali, rasanya seperti berdiri di oasis di padang pasir, sejuk.
 Rasa panasnya sedikit berkurang, dan sesudah ini pasti akan kembali normal.  Aku menutup kran lalu berniat kembali keluar dan membaca bukuku, tapi ternyata panas di tangan semakin menjadi.  Aku kembali membuka air kran, lalu kembali menutupnya, dan panasnya masih  belum hilang saja.  Karena kesal aku membiarkan tangannku dengan rasa panasnya dan kembali ke luar.
Dari jarak yang cukup dekat dari tempatku, terlihat sesosok laki-laki melipat tangannya di meja.  Oh itu dia… tapi kenapa ia ada ditempat dudukku? Apa aku salah menyimpan buku tadi?   Aku berjalan menghampirinya lalu duduk tepat dihadapannya.  Ada secangkir vanilla latte di sisi kirinya, dan didepanku ada sebuah gelas tinggi yang mengeluarkan banyak titik air dibagian depan gelasnya, sepertinya berisikan vanilla latte juga.
“Aku baru saja membeli krim ini, mungkin saja rasa panas dan perihnya bisa hilang.”  Ia mengoleskan krim itu ditelapak tanganku, rasa dingin menjalar ditubuhku tiba-tiba.  Bukan hanya karena krim yang dioleskannya, tapi karena dia juga.  Jantungku mendadak memompa darah dengan sangat cepatnya, tentu saja darahku berdesir dengan kecepatan yang cepat pula, dan jangan ditanya, bagaimana warna wajahku saat itu.
Setelah itu terjadilah obrolan yang menarik antara kami.  Ternyata dia menyenangkan,  dibalik wajahnya yang selalu tenang, ada gurauan yang sangat menggelitik keluar dari mulutnya.  Ia sangat ramah, banyak sekali hal yang ia ceritakan, dan karenanya senyum dan tawaku makin saja berkembang.  Aku menyeruput vanilla latte dingin itu perlahan, dan ternyata rasanya memang enak.  Aku sangat menikmati suasana senja hari ini, sinar mentari sore yang menembus masuk kedalam jendela, orang-orang yang hilir mudik diluar sana, dan ada kamu, ini sangat menyenangkan!
****
Orang  itu kenapa sangat tampak aneh?  Aku memutuskan untuk mengikutinya, entah kenapa.  Laki-laki yang memakai kaos berkerah dan berambut rapi ini, berjalan dengan santai.  Ditangannya ada seikat bunga anyelir yang ia bawa dari toko bunga tadi dan sebuah buku.  Aku sedikit berlari untuk bisa berada sejajar dibelakangnya, langkahnya tidak bisa aku kejar dengan kakiku yang kecil ini.
****
“Aku suka meminjam buku yang sudah kamu pinjam loh.” Katanya sambil tersenyum.
Aku menghentikan prosesi menikmati vanilla latte dinginku.  Sedikit tercengang, bukankah aku sangat aneh, diujung umur kepala satu ini aku masih suka membaca buku dongeng.  Dan dia membaca buku yang aku baca juga. 
“Hah?  Kenapa aku juga membaca buku yang aku baca?  Bukan kah aneh, membaca buku semacam itu di usia kita?” tanyaku penasaran.
“Dongeng itu menyenangkan, dan aku suka.  Itu juga karena kamu.”  Lagi-lagi ia berbicara dengan senyum yang tak habis-habisnya.  Dan setelah itu kami resmi berteman, kami selalu duduk dibangku yang sama, bercerita tentang segala hal, dan tentunya ada buku, music jazz, dan secangkir vanilla latte hangat dan segelas vanilla latte dingin di meja.  Aku bisa menatap matamu yang berwarna coklat itu dari dekat.  Terima kasih  untuk kamis sore yang selalu kamu hiasi dengan canda tawamu, aku suka, ya suka sekali…
****
Aku menghentikan langkahku, ia sudah berdiri disebuah café.  Didepannya ada sebuah kaca besar, ia menatap seseorang yang sedang duduk didalam sana dengan senyum.  Ini aneh, kenapa ia senyum-senyum sendiri?  Aku mulai meneriakinya, mengelilinginya, dan menepuk-nepuk sepatu sneakersnya.  Ia lalu menoleh kebawah dengan tatapan penasaran, apa yang sejak tadi mengganggunya.
“Hey, apa yang kamu lakukan?” katanya sambil menggelitik leherku, ya… ia selalu melakukan hal ini setiap berkunjung kerumah, dan aku sangat menyukainya.  “Aku sangat merindukannya, tolong sampaikan ya.” Katanya lembut dengan senyum yang tulus.  Ah… beruntung sekali  Laras memiliki seseorang yang baik seperti dia.  Aku merasakan seseorang dating dari belakangku dan menggendongku dengan lembutnya.
****
Aku tetap menatap keluar jendela, aku sangat merindukan sesuatu sekarang ini, rasanya membuat dada sangat sesak.  Aku menarik nafas dengan berat, mataku mulai sedikit berair, aku tengok bangku sebelahku, kosong. 
“Kemana Fity? Rasanya tadi dia masih ada disini?”  Aku menengok ke kanan, kiri, dan ke bawah meja, berusaha menemukan kucing kesayanganku.  Aku mendengar suara meongnya, refleks aku melihat keluar jendela.  Fity sedang mengeong-ngeong sendirian di luar sana.  Apa yang sedang dia lakukan?
Aku berjalan keluar, dan mendapati Fity masih mengengong-ngeong.  Di depannya terdapat sebuah buku dan seikat bunga anyelir dengan pita berwarna tosca.  Aku menggendong Fity yang masih mengeong, dan mengambil bunga dan buku itu.  Di buku itu tertulis namaku dan… ***